Hampir
dipastikan bahwa semua orang, termasuk nabi sekalipun, pernah marah, karena
marah adalah salah satu sisi kemanusiaan yang normal. Namun demikian, orang
yang setiap saat marah tanpa penyebab yang jelas, tentu saja tidak tepat dikatakan
sebagai orang normal. Oleh karena itu juga, ada yang menyebut bahwa marah itu
sama dengan gila, namun tingkat kegilaannya masih rendah. Hampir atau
malah bahkan semua ajaran agama, berpandangan bahwa marah adalah salah sifat
yang kurang terpuji. Karena, ketika seseorang marah, maka akal pikiran
seseorang akan tertutup. Akibat lebih lanjut, kemungkinan setan untuk masuk
menggoda, terbuka lebar. Pandangan dan keyakinan ini, tentu saja tidak mudah untuk
dibantah.
Saat ini, telah berkembang
konsep yang terkait dengan bagaimana mengelola sifat manusia yang satu ini. Aku
pernah mendengar pandangan yang menyatakan bahwa untuk memberikan motivasi
kepada orang lain, maka sesekali kita harus marah. Ada juga yang mengatakan
bahwa, marah itu penting untuk menunjukan sikap kita terhadap sesuatu. Namun
demikian, yang jadi pertanyaan adalah, apa iya?, untuk memberikan motivasi dan
menunjukan sikap, kita mesti marah?. Kalau demikian, apa kita tidak
mencampuradukan, antara tujuan yang baik (memberikan motivasi), namun ditempuh
melalui cara yang tidak terpuji (marah)?
Untuk mengurangi
tumpukan pertanyaan di atas, aku mbuka Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1989). Menurut
kamus ini, marah berarti sangat tidak senang (karena dihina, diperlakukan tidak
sepantasnya, dsb). Menurut kamus ini juga, marah mengandung arti sebagai gelar
anak sutan yang menikah dengan perempuan biasa atau anak putri dengan laki-laki
biasa di Minangkabau. Weleh weleh weleh…
devinisi yang kedua ini gak nyambung
sama sekali, jadi gak akan dibahas
dalam tulisan ini.
Berangkat dari
devinisi kamus di atas, adalah hal yang manusiawi ketika orang menjadi marah karena
dihina atau diperlakukan tidak sepantasnya. Yang jadi masalah sekarang, banyak
orang marah karena hal yang remeh-temeh.
Ada seorang majikan menjadi marah besar, hanya karena pembantunya menjatuhkan
sebuah gelas yang harganya murah. Sampai-sampai seorang pembantu harus disiram
dengan air panas atau diseterika punggungnya oleh seorang majikan. Padahal
dalam kejadian ini, tidak ada orang yang dihina atau diperlakukan tidak
sepantasnya.
Atau, ada orang
tua yang marah, ketika melihat anaknya yang baru sekolah SD pulang ke rumah
dengan kondisi belepotan oleh lumpur
yang bau, karena si anak habis mencari ikan di got belakang sekolahnya. Si anak ditempeleng, dijewer dan dicubit, bahkan dilarang makan dan masuk
rumah seharian oleh orang tuanya. Dalam kejadian ini juga, siapa yang dihina
atau diperlakukan tidak sepantasnya? Gak
ada kan?. Kalau menurut Bang Haji Oma Irama, sungguh terlalu.
Atau, ada lagi
seorang bos yang memecat stafnya di kantor, hanya karena si staf yang
ditugaskan membawa kendaraan kantor mengalami kecelakaan tabrakan. Padahal
biaya perawatan terhadap kendaraan kantor sudah dianggarkan oleh perusahaan dan
biayanya sangat besar, bahkan selalu tersisa setiap tahunnya. Dengan mem-PHK
stafnya, bos berkontribusi nyata dalam meningkatkan jumlah pengangguran dan
kemiskinan. Dalam kejadian ini, si bos ke-geeran,
merasa dihina atau diperlakukan tidak sepantasnya oleh stafnya. Padahal kan tidak? Jadi, kenapa orang bisa marah
oleh hal yang remeh-temeh?.
Untuk
menjelaskan fenomena di atas, salah satunya kita dapat menyimak pandangan
Seneca, yang dikutif dari buku The
Consolations of Philosophy (Filsafat Sebagai Pelipur Lara), karangan Alain
de Botton (2003). Seneca adalah seorang filosof yang meninggal pada Tahun 65 M.
Seneca dihukum mati oleh Kaisar Nero yang kejam. Sekalipun Seneca pernah
bekerja sebagai guru pribadi kekaisaran selama lima tahun dan menjadi pembantu
setia selama satu dekade. Seneca dituduh melakukan konspirasi untuk mengkudeta
kaisar, walaupun tidak ada bukti yang mengaitkan Seneca dengan konspirasi
tersebut.
Marah menurut
Seneca
Sang filosof
menganggapnya sejenis kegilaan:
Tidak ada jalan
yang lebih pintas menuju kegilaan. Banyak orang yang marah … mengakibatkan
kematian anak-anak mereka, kemiskinan pada diri sendiri, kerusakan rumah.
Menolak dianggap marah sama halnya menolak kegilaan mereka sendiri. Mereka
memusuhi sahabat-sahabat karib … melanggar hukum …, mereka melakukannya dengan
paksa … penyakit telah menyerang mereka, lebih parah dari segala hal yang
paling buruk.
Apabila sudah
tenang, orang yang tadinya marah akan meminta maaf dan menjelaskan bahwa mereka
diliputi kekuatan yang menguasai diri mereka. Kekuatan yang melebihi akal sehat
mereka. “Mereka”, rasionalitas mereka tidak bermaksud menghina dan menyesali
umpatan mereka. Mereka kehilangan control akibat kekuatan hitam dalam amarah.
Dengan ini orang marah menerima pandangan yang umumnya diterima akal bahwa
fakultas berfikir, sandaran kesejatian diri, kadang-kadang digambarkan
terserang oleh perasaan emosi sehingga akal dianggap tidak dapat bertanggung
jawab.
Pandangan ini
bertentangan langsung dengan pendirian Seneca mengenai pikiran. Menurutnya,
kemarahan bukan bersumber dari ledakan emosi yang tak terkontrol. Akan tetapi,
berasal dari kesalahan penalaran yang mendasar (dan yang dapat dikoreksi).
Nalar tidak selamanya membimbing tindakan kita, ia mengakui: jika kita tersiram
air dingin, tubuh kita pasti menggigil. Jika mata tercolok telunjuk, kita
berkedip. Namun demikian, kemarahan tidak termasuk kategori gerakan fisikal
yang tidak disengaja. Ia hanya muncul akibat adanya pendirian tertentu di belakangnya. Hanya dengan mengubah pendirian
tersebut, kita dapat mengubah kecenderungan pada amarah kita.
Dalam pandangan
Senecian, yang membuat kita marah adalah harapan yang terlalu optimistic
tentang bagaimana manusia dan dunia ini.
Sekeras apa pun
reaksi kita terhadap rasa frustasi ditentukan dengan jelas oleh apa yang kita
anggap normal. Kita mungkin frustasi dengan hujan, namun kebiasaan kita dengan
pancuran mandi menyebabkan kita tidak lagi perlu frustasi. Rasa frustasi kita
disebabkan oleh apa yang menurut pemahaman kita dapat diperoleh dari dunia.
Juga oleh pengalaman kita mengenai kewajaran. Kita tidak akan dikuasai
kemarahan jika kapan saja kita diingkari oleh hasrat itu, kita merasa yakin
akan hak kita memperolehnya. Dendam terbesar muncul dari peristiwa yang melukai
perasaan kita mengenai kepatutan eksistensial eksistensi yang mendasar.
Dengan uang,
seseorang dapat berharap menjalani hidup senang di masa Romawi kuno. Banyak
sahabat Seneca mempunyai gedung-gedung di kota dan vila di pedalaman. Ada
permandian besar, taman tertutup, air mancur, dinding marmer, lukisan, dan
ranjang berukir. Ada budak-budak yang selalu menyajikan makanan, menjaga
anak-anak, dan memelihara kebun.
Namun demikian,
tampaknya ada tingkat ketidakpuasan yang aneh di antara kaum berpunya.
“kekayaan mengandung tabiat buruk,” tulis Seneca, setelah mengamati
sahabat-sahabatnya yang kaya di sekitarnya. Karena hidup tidak seperti yang
mereka harapkan.
Seneca mengenal
seorang kaya, Vedius Pollio, sahabat kaisar Agustus. Dalam suatu pesta, seorang
budak menjatuhkan nampan Kristal. Vedius membenci suara gelas pecah dan menjadi
sangat marah, sehingga membenamkan budak itu dalam kolam penuh belut raksasa.
Kegusaran
seperti itu tidak masuk akal. Vadius Pollio marah karena alasan sepele: karena
ia percaya gelas tidak boleh pecah dalam suatu pesta. Kita teriak bila tidak
menemukan remote control karena
kepercayaan yang implisit bahwa ia tidak boleh diletakan di sembarang tempat.
Amarah disebabkan oleh pendirian yang awalnya terasa lucu, namun tragis
akibatnya. Frustasi tidak dapat diterima sebagai kesepakatan hidup.
Kita harus lebih
hati-hati. Seneca berusaha mencocokan skala pengharapan kita sehingga kita
tidak melampaui batas ketika mengalami benturan:
Ketika makan malam sedikit lebih lambat:
Apa perlunya menendang
meja? Melemparkan gelas? Menggebrak meja?
Ketika suara meledak:
Mengapa harus
meledakan amarah tanpa ada yang mengganggumu, atau anjing menghalangi jalanmu.
Juga tidak ada kunci yang hilang karena kelalaian pelayan?
Ketika sesuatu dianggap mengganggu ketenangan di ruang
makan:
Mengapa harus
pergi dan memecut cambuk di tengah jamuan malam, hanya karena pelayan ngobrol?
Kita harus berdamai dengan ketidaksempurnaan
eksistensi:
Mengherankan
bahwa kejahatan harus menghasilkan perbuatan jahat. Atau engkau tidak mengira
jika musuhmu menyakiti atau sahabatmu mencemooh jika anakmu melakukan
kekeliruan atau pelayanmu berbuat salah?
Kita akan
berhenti marah apabila kita berhenti untuk tidak begitu berharap.
Sumber: Secangkir Narasi Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar