Nginang merupakan kegiatan seseorang yang sedang mengunyah
biji pinang yang dicampur dengan kapur sirih, gambir dan daun sirih, kemudian menggosokan
tembakau di gigi dan gusi. Tradisi nginang yang dulu banyak dilakukan oleh
nenek moyang kita ini, kini sudah banyak ditinggalkan. Jika secara umum di
sekitar kita tidak lagi dijumpai orang yang nginang, kondisi ini berbeda dengan
gambaran di salah satu kampung yang saat itu saya kunjungi.
Suasana sejuk kampung dengan dengan angin dari arah gunung berhembus
perlahan, tapi lebih dari cukup untuk menyejukan isi kampung yang berpenghuni kurang dari seratus
empat puluh rumah. Salah satu dari rumah penduduk ini, sebuah rumah beratap daun kelapa luasnya kurang lebih enam kali enam meter berdiri diantara
pepohonan. Lembaran
papan yang dipaku pada tiang membungkus dinding
keempat sisi samping ruang rumah. Di halaman rumah, anak-anak kecil bermain enggrang,
sebuah permainan tradisional yang terbuat dari bambu
bulat panjang dan diberi pijakan agar kaki dapat
leluasa berjalan. Dari dalam rumah,
seorang ibu setengah
baya keluar dan perlahan-lahan menuruni tangga dari rumah yang mungil itu. Dengan ramah si ibu mempersilahkan kami untuk
masuk ke dalam rumah. Setelah berkenalan baru diketahui ibu setengah baya ini
bernama Erni.
Selama berbincang-bincang dengan kami, bibir dan
gigi bahkan ujung jari Bu Erni kelihatan merah layaknya telah mengunyah dan
memegang makanan tertentu. Karena ini pula lah, seorang teman penasaran dan
menanyakannya. Bu Erni kemudian menceritakan bahwa para wanita di kampungnya –
termasuk juga dirinya – masih melakukan tradisi nginang. Masyarakat melakukan nginang
karena merupakan tradisi sejak dulu, yang diwariskan secara
turun-temurun. Dari pengalaman, kebanyakan wanita yang nginang
memiliki gigi yang kuat meski berwarna agak
kekuningan. Penjelasan Bu Erni
diperkuat dengan menunjuk salah satu perempuan desa yang berusia lanjut yang
duduk tidak jauh dengan tempat kami berbincang-bincang.
Mendengar cerita Bu Erni saya berpikir, bila nginang dapat membuat gigi menjadi kuat
mungkin saja ini dikarenakan bahan campuran nginang
mengandung antiseptik dan kalsium, yang dapat mencegah pertumbuhan
kuman-kuman di mulut dan dapat
menguatkan gigi. Jika demikian, kenapa para ahli tidak banyak melakukan
penelitian tentang ini ya? Kemudian jika terbukti ada manfaatnya, dan rasanya
dapat dibuat serupa dengan rasa rokok, tidak ada salahnya tradisi ini
disosialisasikan agar para perokok beralih menjadi penginang. Kalo ini terjadi, berarti ke depan bisa saja yang
dikeluhkan orang tidak lagi asap rokok, tetapi masalah lingkungan jika para penginang tidak menjaga kebersihan
dengan membuang ludah yang berwarna merah secara sembarangan.
Kampung tempat Ibu Erni bermukim berada di Desa Powelua, yang secara administrasi termasuk dalam Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten
Donggala. Untuk sampai ke desa ini
dapat menggunakan kendaraan motor ataupun mobil. Perjalanan dapat
ditempuh tidak lebih tiga jam lamanya dari Kota Palu. Hawa pedesaan masih terasa sejuk, walau tidak sedingin saat dulu.
Di kampung Ibu Erni ini, masih dijumpai hutan lindung dengan pemandangan
alam yang indah.
Dari hutan lindung ini juga mengalir
sungai dengan debit yang cukup besar. Kekhasan lain
dari lokasi ini adalah penghasil
durian, bila musim durian kita dapat membeli durian dari masyarakat yang
baru diperoleh dari pohonnya.
Akhirnya, jika anda ingin tahu bagaimana rasanya nginang sambil menikmati rasa durian dan
melihat panorama alam, silahkan datang ke kampungnya Bu Erni ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar